Rabu, 17 November 2010

Hikmah Idul Adha

Mengembalikan Jati Diri Bangsa, bulan ini merupakan moment yang sangat tepat untuk  Mengembalikan Jati Diri Bangsa ini yang masih terpuruk, bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Ibadah haji merupakan ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengan ibadah Haji, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Haji merupakan suatu lambang dari puncak ketangguhan pribadi dan puncak ketangguhan sosial. Haji adalah sublimasi dari sholat dan keseluruhan rukun Iman. Haji merupakan lambang perwujudan akhir dari Rukun Islam.
Haji merupakan suatu langkah penyelarasan nyata antara alam pikiran dengan praktek. Haji adalah suatu simbul praktek yang sempurna, transformasi dari suatu pikiran ideal (fitrah) ke alam nyata secara sempurna. Haji adalah keselarasan antara Iman dan Islam. Secara prinsip Haji merupakan suatu konsep berfikir yang berpusat hanya kepada Allah, yang akan menumbuhkan kesadaran diri (self awareness), hakekat diri, jati diri.
Secara sosial haji merupakan simbol kolaborasi tertinggi yaitu pertemuan pada skala tertinggi dimana umat Islam sedunia melaksanakan langkah yang sama dengan landasan prinsip yang sama pula.
Haji merupakan simbol dari siklus kehidupan manusia (life cycle), diawali dangan kelahiran yang fitrah dan diakhiri dengan kematian yang fitrah pula plus pertanggungjawaban semasa menjalankan misi Tuhan sebagai Rahmatan Lil ‘alamin.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani dalam rangka mengembalikan jati diri bangsa ini yang masih terpuruk.
Momen ini mari kita jadikan sebagai muhasabah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini. Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela di negeri tercinta ini. Kasus suap, sogok menyogok, “markus” atau makelar kasus masih mewarnai negeri ini.  Demi menumpuk kekayaan mereka rela menanggalkan “baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berqurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa kita harus senantiasa respek dan peduli terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kita dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Mungkin kita sering khilaf berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Mungkin kita rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Mudah-mudahan kita bisa mengambil momentum ini untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam rangka untuk Mengembalikan Jati Diri Bangsa. Dengan senantiasa mengagungkan asma Allah, dengan senantiasa berdzikir.
Semoga kita mampu menanggalkan atribut-atribut artificial yang kita sandang. Yakni kita benar-benar telah bebas dari keinginan-keinginan pribadi. Semua tindakan kita didasarkan pada prinsip lillahi ta’ala (hanya karena Allah ). Pada stadium inilah keikhlasan dan ihsan itu berada. Pada saat itu kita akan menemukan kesadaran akan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaannya. Seperti memiliki kelembutan hati, kehalusan budi pekerti (akhlak), keadilan, keberanian, kasih sayang, kejujuran, amanah, kedermawanan, keikhlasan, dan ketaatan untuk mencapai ridho Allah SWT. Kemudian hidup ini akan senantiasa sibuk memperbaiki diri dan dibarengi dengan amal shaleh.
Semoga kita bisa senantiasa menundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah Yang Maha Besar. Bisa mencampakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan kecongkaan yang dapat menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun kebesaran yang kita sandang, kita kecil di hadapan Allah. Betapa pun perkasa, kita lemah dihadapan Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Semoga dengan muhasabah ini dalam rangka memperingati Idul Adha akan menggugah kesadaran kita untuk senantiasa rela berkorban untuk negeri kita tercinta yang tidak pernah luput dirundung kesusahan.
Dalam kondisi seperti ini sebenarnya kita banyak berharap dan mendoakan mudah-mudahan para pemimpin kita, elit-elit kita, dalam berjuang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Pengorbanan untuk kepentingan orang banyak tidaklah mudah, berjuang dalam rangka mensejahterahkan umat memang memerlukan keterlibatan semua pihak. Hanya orang-orang bertaqwalah yang sanggup melaksanakannya.
Mudah-mudahan perayaan Idul Adha kali ini, mampu menggugah kita untuk rela berkorban demi kepentingan agama, bangsa dan negara, amiin ya robbal alamin.
Selamat berhari raya !!!

Senin, 15 November 2010

Makna Idul Adha

Mengembalikan Jati Diri Bangsa, bulan ini merupakan moment yang sangat tepat untuk  Mengembalikan Jati Diri Bangsa ini yang masih terpuruk, bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Ibadah haji merupakan ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengan ibadah Haji, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Haji merupakan suatu lambang dari puncak ketangguhan pribadi dan puncak ketangguhan sosial. Haji adalah sublimasi dari sholat dan keseluruhan rukun Iman. Haji merupakan lambang perwujudan akhir dari Rukun Islam.
Haji merupakan suatu langkah penyelarasan nyata antara alam pikiran dengan praktek. Haji adalah suatu simbul praktek yang sempurna, transformasi dari suatu pikiran ideal (fitrah) ke alam nyata secara sempurna. Haji adalah keselarasan antara Iman dan Islam. Secara prinsip Haji merupakan suatu konsep berfikir yang berpusat hanya kepada Allah, yang akan menumbuhkan kesadaran diri (self awareness), hakekat diri, jati diri.
Secara sosial haji merupakan simbol kolaborasi tertinggi yaitu pertemuan pada skala tertinggi dimana umat Islam sedunia melaksanakan langkah yang sama dengan landasan prinsip yang sama pula.
Haji merupakan simbol dari siklus kehidupan manusia (life cycle), diawali dangan kelahiran yang fitrah dan diakhiri dengan kematian yang fitrah pula plus pertanggungjawaban semasa menjalankan misi Tuhan sebagai Rahmatan Lil ‘alamin.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani dalam rangka mengembalikan jati diri bangsa ini yang masih terpuruk.
Momen ini mari kita jadikan sebagai muhasabah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini. Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela di negeri tercinta ini. Kasus suap, sogok menyogok, “markus” atau makelar kasus masih mewarnai negeri ini.  Demi menumpuk kekayaan mereka rela menanggalkan “baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berqurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa kita harus senantiasa respek dan peduli terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kita dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Mungkin kita sering khilaf berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Mungkin kita rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Mudah-mudahan kita bisa mengambil momentum ini untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam rangka untuk Mengembalikan Jati Diri Bangsa. Dengan senantiasa mengagungkan asma Allah, dengan senantiasa berdzikir.
Semoga kita mampu menanggalkan atribut-atribut artificial yang kita sandang. Yakni kita benar-benar telah bebas dari keinginan-keinginan pribadi. Semua tindakan kita didasarkan pada prinsip lillahi ta’ala (hanya karena Allah ). Pada stadium inilah keikhlasan dan ihsan itu berada. Pada saat itu kita akan menemukan kesadaran akan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaannya. Seperti memiliki kelembutan hati, kehalusan budi pekerti (akhlak), keadilan, keberanian, kasih sayang, kejujuran, amanah, kedermawanan, keikhlasan, dan ketaatan untuk mencapai ridho Allah SWT. Kemudian hidup ini akan senantiasa sibuk memperbaiki diri dan dibarengi dengan amal shaleh.
Semoga kita bisa senantiasa menundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah Yang Maha Besar. Bisa mencampakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan kecongkaan yang dapat menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun kebesaran yang kita sandang, kita kecil di hadapan Allah. Betapa pun perkasa, kita lemah dihadapan Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Semoga dengan muhasabah ini dalam rangka memperingati Idul Adha akan menggugah kesadaran kita untuk senantiasa rela berkorban untuk negeri kita tercinta yang tidak pernah luput dirundung kesusahan.
Dalam kondisi seperti ini sebenarnya kita banyak berharap dan mendoakan mudah-mudahan para pemimpin kita, elit-elit kita, dalam berjuang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Pengorbanan untuk kepentingan orang banyak tidaklah mudah, berjuang dalam rangka mensejahterahkan umat memang memerlukan keterlibatan semua pihak. Hanya orang-orang bertaqwalah yang sanggup melaksanakannya.
Mudah-mudahan perayaan Idul Adha kali ini, mampu menggugah kita untuk rela berkorban demi kepentingan agama, bangsa dan negara, amiin ya robbal alamin.
Selamat berhari raya !!!